Kalsel.Radigfamedia.com, Hulu Sungai Tengah – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Tengah (HST) bersama 29 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) HST sepakat mengajukan permohonan peninjauan kembali kesepakatan batas wilayah HST–Kotabaru kepada Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel).
Langkah tersebut diambil karena hasil kesepakatan batas wilayah tahun 2021 dinilai banyak terjadi ketidak sesuaian dan perlu segera ditinjau ulang demi kejelasan serta keadilan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan.
Ketua DPRD HST H. Pahrijani mengatakan, permohonan peninjauan ulang ini merupakan bentuk tindak lanjut atas aspirasi masyarakat adat, yang merasa batas wilayah hasil kesepakatan 2021 tidak mencerminkan batas adat sebenarnya.
“Hal ini kami lakukan guna menindaklanjuti aspirasi masyarakat adat, karena deliniasi batas hasil kesepakatan pada 2021 itu tidak sesuai dengan batas adat yang telah disepakati oleh para tokoh adat Balai Adat Juhu, Balai Adat Aing Bantai Datar Tarap, dan Balai Adat Aing Bantai Manggajaya,” ujar Pahrijani di Barabai, Kamis (6/11/2025).
Sebelumnya, DPRD HST melalui 29 anggotanya telah mengirim surat permohonan peninjauan kembali kepada Bupati HST pada 24 September 2025, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati HST Samsul Rizal dengan menyurati Gubernur Kalsel tertanggal 27 Oktober 2025.
Menurut Pahrijani, kesepakatan batas tahun 2021 tidak hanya menimbulkan pengurangan luas wilayah Kabupaten HST yang sudah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2016, tetapi juga berdampak pada pelayanan publik dan proses pembangunan di wilayah perbatasan.
“Adanya kesepakatan batas ini juga menghambat pembangunan dan pelayanan Pemkab HST ke wilayah Desa Juhu dan Desa Aing Bantai beserta sejumlah anak desanya di Kecamatan Batang Alai Timur,” ungkapnya.
Pahrijani menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya mengembalikan hak masyarakat adat dan memastikan perlindungan terhadap wilayah adat mereka.
Sementara itu, Bupati HST Samsul Rizal menjelaskan bahwa ketidaksesuaian batas hasil kesepakatan 2021 telah mengganggu rencana pembangunan akses jalan dan infrastruktur yang dirancang Pemkab HST untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat perbatasan.
“Kesepakatan batas itu membatasi pembangunan akses jalan yang kami rencanakan. Padahal, Pemkab HST sudah melakukan koordinasi terkait izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pembangunan infrastruktur jalan bagi masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di wilayah tersebut,” ujar Bupati.
Bupati Samsul Rizal menegaskan, persoalan batas ini tidak hanya soal wilayah administratif, tetapi juga menyangkut pelayanan publik dan hak dasar masyarakat, terutama akses pendidikan bagi anak-anak di wilayah perbatasan.
“Khususnya akses jalan yang layak bagi anak-anak menuju sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang selama ini terhambat oleh segmen batas HST–Kotabaru,” lanjutnya.
Ia menegaskan, permohonan ini bertujuan untuk menjamin pelayanan publik, akses pendidikan, dan pembangunan wilayah, terutama bagi masyarakat di kawasan perbatasan yang terdampak oleh ketidaksesuaian batas tersebut.
“Kami berharap peninjauan ulang ini dapat mengembalikan kejelasan batas wilayah yang adil dan berpihak kepada masyarakat yang telah lama mendiami wilayah adatnya,” tegas Bupati.
Sebagai informasi, pada Juni 2021 lalu dilakukan kesepakatan batas HST–Kotabaru yang dipimpin Pj Gubernur Kalsel Syafrizal ZA, bersama Bupati HST sebelumnya H. Aulia Oktafiandi dan Sekda Kotabaru H. Said Akhmad. Namun, hasil kesepakatan tersebut menimbulkan kekecewaan di masyarakat.
Kesepakatan tersebut menetapkan dari 34 ribu hektare wilayah yang dipersengketakan di kawasan hutan lindung sekitar kaki Pegunungan Meratus, Kabupaten HST hanya memperoleh 11 ribu hektare, sementara Kabupaten Kotabaru mendapatkan 23 ribu hektare.
Akibatnya, masyarakat adat yang tinggal di wilayah tapal batas menjadi resah karena kesepakatan dilakukan secara tertutup, dinilai cacat formil, dan tidak melibatkan mereka dalam proses penetapan batas.
Mereka khawatir wilayah adatnya akan tergerus, yang pada akhirnya mengancam ruang hidup dan identitas sosial budaya masyarakat adat di kawasan tersebut.
