Kalsel.Radigfamedia.com, Hulu Sungai Tengah – Praktik destructive fishing atau penangkapan ikan dengan cara merusak kembali marak di sejumlah wilayah perairan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Aktivitas ilegal ini terpantau di beberapa kawasan seperti Mantaas, Rantau Bujur, Kayu Rabah, Ilung, Sungai Buluh, hingga Panggang Marak.
Metode yang digunakan para pelaku umumnya berupa penyetruman ikan menggunakan alat bertegangan listrik tinggi. Cara ini tidak hanya membunuh ikan dalam jumlah besar, tetapi juga merusak ekosistem perairan serta mengancam kelestarian biota sungai.
Kepala Bidang Perikanan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) HST, Syaifuddin Noor, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2020 hingga 2025, pihaknya telah mencatat enam kasus destructive fishing di wilayah perairan HST.
“ Ada delapan kasus namun enam kasus yang sudah inkrah pada tahun 2020–2021. Dua kasus terbaru pada 2025 belum dapat kami tindak lanjuti karena pelaku melarikan diri saat patroli. Kami hanya menemukan sejumlah barang bukti di lokasi,” ujar Syaifuddin, Senin (6/10/2025).
Kasus pertama tahun ini terjadi pada Juni 2025 di wilayah Panggang Marak, Kecamatan Labuan Amas Selatan. Petugas menemukan dua kendaraan, dua aki, dua stik setrum, dan dua keranjang ikan yang ditinggalkan pelaku. Sementara kasus kedua ditemukan pada September 2025 di Kayu Rabah, Kecamatan Pandawan, dengan barang bukti berupa dua unit perahu bermesin, enam baskom, dua alat tangkap, dua genset, empat kondensor, dan satu senter.
Menurut Syaifuddin, proses hukum terhadap pelaku hanya dapat dilakukan apabila mereka tertangkap tangan saat melakukan aksinya.
“Kalau saat patroli tidak ditemukan pelaku, kami tidak bisa menindaklanjuti hingga ke ranah hukum, meskipun ada barang bukti di tempat kejadian. Banyak laporan masyarakat yang masuk, tapi saat tim turun, pelaku sudah kabur,” jelasnya.
Selain penyetruman, bentuk destructive fishing lain yang masih ditemukan di HST ialah penggunaan bom ikan dan racun (putas). Aktivitas ini, kata Syaifuddin, sangat berbahaya karena menimbulkan kerusakan permanen pada habitat perairan serta menurunkan populasi ikan di sungai.
“Metode yang digunakan pelaku beragam, ada yang menggunakan setrum, ada juga puntas (bom ikan buatan). Semuanya jelas dilarang karena merusak ekosistem sungai,” tegasnya.
Namun demikian, pembuktian terhadap penggunaan putas atau bahan peledak buatan disebut lebih sulit dilakukan. Bahan tersebut cepat larut dan terbawa arus air, sehingga menyulitkan pengumpulan barang bukti di lapangan.
“Kalau puntas ini cepat hilang terbawa arus. Meskipun kami tahu siapa pelakunya, tapi tanpa tertangkap tangan, tidak bisa kami proses,” tambahnya.
Sebagai langkah pencegahan, DKPP HST bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan terus melakukan sosialisasi, patroli rutin, pemasangan papan larangan, hingga penebaran benih ikan (restocking) di sejumlah wilayah perairan yang terdampak.
“Kami sudah berupaya maksimal untuk menekan praktik destructive fishing. Edukasi ke masyarakat, patroli rutin, serta restocking ikan terus kami lakukan agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga,” pungkasnya.
Reporter: Nor Habibah Rahmah