Sengketa Tapal Batas HST–Kotabaru Ungkap Ketidakakuratan, Jadi Sorotan Dunia di ACRS 2025

Kalsel.Radigfamedia.com, Hulu Sungai Tengah -Sengketa tapal batas antara Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan Kabupaten Kotabaru kembali mencuri perhatian, kali ini di panggung internasional. Forum bergengsi The 46th Asian Conference on Remote Sensing (ACRS) 2025 di Makassar menjadi tempat dibahasnya persoalan yang telah lama mempengaruhi masyarakat adat di Pegunungan Meratus tersebut.

Di hadapan para pakar penginderaan jauh dari berbagai negara, Dr. Ir. H. Sa’dianoor, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman HST sekaligus pengurus MAPIN Kalsel, mempresentasikan hasil penelitiannya yang menyoroti ketidakakuratan dalam penetapan batas wilayah HST–Kotabaru tahun 2021.

Penelitian tersebut diberi judul “Field Survey and Interview Analysis Regarding the Rejection of the Manggajaya Customary Council on the Administrative Boundary Agreement Between Hulu Sungai Tengah and Kotabaru Regencies.”

Sa’dianoor menyebut hadirnya penelitian ini tidak lepas dari komitmen Bupati HST Samsul Rizal dan Wakil Bupati H. Gusti Rosyadi Elmi, yang sejak awal konsisten memperjuangkan hak masyarakat adat Meratus dan menolak penetapan batas yang dianggap merugikan HST.

“Judul penelitian kami disajikan dalam bahasa Inggris agar dapat dipahami para peserta internasional,” ujarnya di Barabai (13/11/2025).

Dengan menggabungkan survei GPS lapangan, wawancara tokoh adat Meratus, serta analisis citra satelit seperti SPOT, Google Maps, dan DEM, penelitian itu menemukan bahwa batas tahun 2021 tidak akurat secara spasial.

Beberapa temuan penting yang dipaparkan:

  • Penetapan batas tidak berbasis pelacakan lapangan yang memadai, termasuk ground check dan validasi morfologi wilayah.

  • Garis batas hasil kesepakatan 2021 tidak berada di puncak bukit, padahal hasil overlay dengan data DEM dan SRTM menunjukkan letak geografis yang berbeda dari garis yang ditetapkan.

  • Toponimi lokal masyarakat Meratus tidak dijadikan dasar, padahal kewajiban ini telah diatur dalam Permendagri 141/2017.

  • Data batas sebelumnya yang dimiliki HST justru dilengkapi koordinat, foto lapangan, dan toponimi resmi dari hasil pelacakan TPBD sejak 2005 semuanya terdokumentasi secara digital.

Penetapan batas yang disebut tidak tepat ini membuat HST kehilangan lebih dari 19 ribu hektare wilayah. Dampaknya besar yang terjadi salah satunya rencana pembangunan jalan penghubung antar desa dan akses ke sekolah di Pegunungan Meratus terancam gagal karena wilayahnya masuk dalam klaim Kotabaru.

Untuk menyiasati hal itu, Pemkab HST telah mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ke kementerian terkait agar pembangunan tetap berjalan.

Sa’dianoor menegaskan bahwa persoalan batas wilayah tidak bisa dipandang sebagai pekerjaan teknis semata.

“Penentuan dan penyelesaian batas wilayah bukan sekadar proses pemetaan teknis. Ini isu multidimensi yang memerlukan keterlibatan pemimpin adat dan pengakuan substansial terhadap klaim tradisional masyarakat adat,” tegasnya.

Ia juga menawarkan sejumlah catatan reflektif:

  • pemetaan kolaboratif membuat batas lebih akurat,

  • pendekatan berbasis lapangan memastikan legitimasi keputusan,

  • proses inklusif menciptakan keadilan spasial,

  • kearifan lokal mendukung pengelolaan lahan berkelanjutan,

  • serta transparansi mengurangi potensi konflik.

Hasil penelitian itu pun dibahas mendalam oleh berbagai peneliti dan ahli penginderaan jauh lainnya dari berbagai negara yang menekankan perlunya pelacakan lapangan spasial dan pelibatan pemimpin adat dalam proses kesepakatannya.

Reporter: Nor Habibah Rahmah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *